Tuesday, July 22, 2014
Saturday, May 3, 2014
Doa Abadi - 2
Doa Abadi - 1 (pada posting sebelumnya) merupakan bagian yang sering dikutip dan dipajang
dengan pigura indah oleh banyak orang tanpa tahu kalau itu bagian dari
sebuah doa?.
Naskah doa selengkapnya nampak di bawah ini.
God, give us grace to
accept with serenity
the things that cannot
be changed,
Courage to change the
things
which should be changed,
and the Wisdom to
distinguish
the one from the other.
Living one day at a
time,
Enjoying one moment at a
time,
Accepting hardship as a
pathway to peace,
Taking, as Jesus did,
This sinful world as it
is,
Not as I would have it,
Trusting that You will
make all things right,
If I surrender to Your
will,
So that I may be
reasonably happy in this life,
And supremely happy with You forever in the next.
Amen.
Doa di atas ditulis sekitar 1930/1940an oleh Reinhold Niebuhr (1892-1971),
seorang ahli teologi, sebagai bagian dari naskah khotbahnya saat itu.
Doa Abadi - 1
Tuhan berikanlah aku kemurahan hati dengan rasa pasrah,
agar dapat menerima hal yang aku tidak kuasa untuk mengubah;
rasa berani,
agar mampu melakukan perubahan yang hakiki;
dan kebijakan,
agar faham atas apa yang berpadan.
Menurutmu, Siapakah Sesamamu? (5)
ANDOY, SAHABAT YESUS.
Ada seorang anak kecil kelas 4 SD yang selalu mengucap syukur dalam keadaan
apapun. Ia tinggal di suatu desa Milaor, Camarines Sur, di Filipina.
Setiap hari, untuk sampai ke sekolahnya, ia harus berjalan kaki melintasi
daerah yang tanahnya berbatu dan
menyeberangi jalan raya yang ramai dan berbahaya karena banyak kendaraan
yang melaju kencang. Setiap kali berhasil menyeberangi jalan raya tersebut, Andoy selalu mampir sebentar ke Gereja
untuk berdoa.
Setiap saat pula, Andoy juga tidak lupa menyapa Pendeta, katanya:”Magandang
umaga po.” (Tagalog,
dialek Biscol: “Selamat pagi.”). Pendeta Agaton membalas: “Kumusta Andoy! Papasokan na?.” (“Apa khabar Andoy! Sudah mau masuk [sekolah]?”). “Opo” (“Ya”), jawabnya dengan santun.
Perilaku Andoy ini diamati oleh Pendeta Agaton yang merasa terharu dengan
sikap Andoy yang santun dan beriman tersebut. Suatu pagi ketika Andoy hendak
masuk ke Gereja, Pendeta Agaton menyapanya.
Pendeta Agaton: “Sepulang sekolah, singgahlah dahulu ke
gereja, karena mulai sekarang saya akan membantu kamu menyeberangi jalan raya
tersebut.”
Andoy : “Terima
kasih, Bapa Pendeta”
Pendeta
Agaton: “Mengapa engkau belum pulang?
Sekarang apa yang akan kamu lakukan?”
Andoy : “Aku
hanya ingin menyapa lagi Tuhan Yesus... sahabatku.”
Lalu Pendeta itu segera
meninggalkan Andoy untuk melewatkan waktunya bersama Tuhan, tapi kemudian menyelinap
di balik altar untuk mendengarkan apa yang dikatakan Andoy.
Andoy mulai berbicara kepada Sahabatnya.
"Engkau tahu Tuhan, ujian
matematikaku hari ini sangat buruk, tetapi aku tidak mencontek walaupun
teman-temanku melakukannya.
Ayahku mengalami musim
paceklik dan yang bisa kumakan hanyalah kue kering ini. Terima kasih buat kue
ini Tuhan!. aku tadi melihat anak kucing malang yang kelaparan dan aku
memberikan kueku yang terakhir buatnya…. lucunya, aku nggak begitu lapar.
Lihat, ini sandalku yang terakhir…. mungkin minggu depan aku harus berjalan
tanpa sandal. Engkau tahu Tuhan sandal ini akan rusak, tapi tak mengapa…. yang
terpenting aku masih dapat pergi ke sekolah.
Tuhanku kata orang-orang kami
akan mengalami musim panen yang susah bulan ini, karena itu beberapa temanku
sudah berhenti sekolah. Tolong Yesus, bantu mereka supaya bisa sekolah lagi.
Oh ya, Engkau tahu? Ibu
memukulku lagi. Sakit sekali, tetapi aku bersyukur karena masih memiliki
seorang ibu. Dan rasa sakit ini pasti akan hilang. Lihatlah lukaku ini Yesus??? Aku tahu Engkau mampu
menyembuhkannya, di sini bekas lukanya (Andoy memegang bekas lukanya). Tolong jangan marahi Ibuku ya..??? memang dia sedang lelah dan cemas akan kebutuhan makanan juga biaya
sekolahku... Itulah mengapa dia memukulku.
Oh ya.. Tuhan, aku rasa aku sedang
jatuh cinta saat ini. Ada seorang gadis cantik di kelasku, namanya Anita…
menurut-Mu apakah dia menyukaiku? Ah… bagaimanapun juga aku tahu bahwa Engkau
tetap menyukaiku karena aku tidak perlu menjadi siapapun untuk menyenangkan hati-Mu. Engkau
adalah sahabatku.
Hei…., ulang tahun-Mu tinggal
dua hari lagi ‘kan?, tidakkah Engkau gembira? Tunggu saja nanti hadiah kejutan
untuk-Mu; aku harap Engkau menyukainya. Ooops, aku harus pergi sekarang.
Selamat siang.”
Kemudian Andoy segera berlari keluar dan memanggil Pendeta Agaton.
Andoy: "Pak Pendeta, Pak Pendeta…. aku sudah selesai berbicara dengan Sahabatku, Yesus, sekarang anda bisa menemaniku
menyeberang jalan!.”
Kegiatan tersebut berlangsung setiap hari dan Andoy tidak pernah absen
sekalipun.
Suatu hari, Pendeta Agaton jatuh sakit sehingga dia tidak bisa memimpin
gereja dan dirawat di rumah sakit. Oleh karenanya, ketika Andoy masuk gereja,
ia tidak mendapatkannya.
Andoy:
"Di manakah Bapa
Pendeta? Dia biasanya membantuku menyeberangi jalan raya… dia selalu menyuruhku
mampir lewat pintu belakang Gereja. tidak hanya itu, aku juga harus menyapa
Sahabatku, hari ini adalah hari ulang tahun-Nya, aku punya hadiah untuk-Nya."
Andoy sedih, bingung dan setelah berpikir sebentar ia tidak mempunyai
pilihan lain kecuali menyeberangi jalan raya tersebut sendirian.
Di situ ada sebuah tikungan yang tidak terlihat pandangan, sebuah bus
melaju dengan kencang dan Andoy, sambil menyimpan hadiah tadi di dalam bajunya,
mulai menyeberang sehingga dia tidak melihat datangnya bus tadi. Tiba-tiba
braaakkk... (terdengar bunyi gaduh dan bus tadi berhenti mendadak) Apa yang
terjadi? ternyata karena tidak bisa menghindari bus besar tadi Andoy tertabrak
dan tewas seketika. Orang-orang di sekitarnya berlarian dan
mengelilingi tubuh Andoy yang sudah tak bernyawa.
Sedih.... saat itu entah
darimana munculnya tiba-tiba datang seorang pria berjubah putih dengan wajah
yang lembut namun penuh dengan air mata, ia memeluk tubuh Andoy dan menangis.
Orang-orangpun heran, mereka penasaran lalu bertanya: "Maaf Tuan, apakah anda keluarga bocah malang
ini? Apakah anda mengenalnya
?."
Dengan hati yang berduka ia segera berdiri dan berkata: "Anak ini namanya Andoy, dia adalah
sahabat-Ku."
Lalu diambilnya bungkusan hadiah dari dalam baju Andoy dan menaruh di dadaNya.
Dia lalu berdiri dan membawa pergi tubuh Andoy. Kerumunan orang tersebut
semakin penasaran...
Malam itu, Pendeta Agaton menerima berita yang
sungguh mengejutkan itu dan dia
datang ke rumah Andoy. Ketika Pendeta Agaton bertemu dengan orangtua
Andoy ia bertanya: "Bagaimana anda
mengetahui putera anda meninggal?."
Ibu Andoy menjawab
sambil menghapus air matanya: “Seorang pria berjubah
putih yang membawanya kemari.”
Pendeta Agaton bertanya
lagi: “Apa katanya?”
“Dia tidak mengucapkan sepatah
katapun. Dia sangat berduka. Kami tidak mengenalnya namun dia terlihat sedih,
sepertinya Dia mengenal Andoy dengan baik. Tetapi ada suatu kedamaian yang
sulit untuk dijelaskan mengenai dirinya. Dia menyerahkan anak kami dan
tersenyum lembut. Dia membelai rambut Andoy dan mencium keningnya kemudian Dia
membisikkan sesuatu,” jawab ayah Andoy.
PendetaAgaton: “Apa yang dikatakannya?
”
Ayah Andoy menjawab: “Dia berkata
terima kasih buat kadonya. Aku akan segera berjumpa denganmu, engkau akan bersama-Ku.” dan, sang ayah melanjutkan, “Anda tahu kemudian. semuanya itu terasa
begitu indah… aku menangis karena bahagia... aku tidak dapat menjelaskannya,
ketika Dia meninggalkan kami ada suatu kedamaian yang memenuhi hati kami. Aku
tahu puteraku sudah berada di surga sekarang. Tapi Pak Pendeta, tolonglah
katakan siapakah Pria ini yang selalu bicara dengan puteraku setiap hari di Gerejamu?
anda
pasti mengenalnya, karena anda selalu berada di sana setiap hari,
kecuali hari ini saat puteraku meninggal!”
Tiba-tiba air mata
Pendeta Agaton menetes di pipinya, dengan lutut gemetar Pendeta
Agaton berbisik, “Dia tidak berbicara
dengan siapa-siapa... kecuali dengan Tuhan Yesus.”
Menurutmu, Siapakah Sesamamu? (4)
MEMAAFKAN, Mudahkah?
(Cerita
tentang Phan Thį Kim Phúc)
Saat perang Vietnam. Desa Trang Bang (30 menit di utara Saigon, bagian
Vietnam Selatan saat itu) terletak di jalur logistik utama yang menghubungkan
Saigon dan Pnom Penh. Karena desa ini sudah diserbu dan diduduki oleh pasukan
Vietnam Utara, si upik Kim Phúc (9 tahun saat itu) dengan keluarga, sejumlah penduduk sipil dan rombongan tentara
Vietnam Selatan keluar dari persembunyian di satu pagoda Cao Dai di
Trang Bang untuk mengungsi. Saat itu tgl
8 Juni 1972, seorang officer militer
Amerika telah merencanakan pemboman desa itu dengan pesawat yang dipiloti angkatan udara Vietnam Selatan.
Ketika terbang menuju ke sasaran, pilot
sempat melihat rombongan ini, lalu
membelokkan pesawatnya dan membom rombongan
ini. Ternyata, tindakan pilot ini adalah suatu
kesalahan, karena mengiranya sebagai rombongan musuh! Si upik Kim Phúc
ini tidak tewas, tapi dua orang familinya dan beberapa penduduk lain tewas.
Dalam sepersekian detik, Nick Ut, fotografer AP sempat mengabadikan orang-orang yang berhamburan ini, termasuk si upik Kim
Phúc yang berteriak histeris: "Nóng quá, Nóng quá!" (artinya "panas sekali").
Anak ini mengalami luka bakar yang sangat parah di punggungnya dan seluruh
pakaiannya terbakar akibat bom napalm.
Foto si upik Kim Phúc yang telanjang sedang berlari-lari di jalan dengan
kulitnya terluka bakar itu menjadi terkenal dan memenangi hadiah Pulitzer bagi
Nick Ut.
Segera setelah itu, fotografer ini langsung melarikannya ke RS Barsky di Saigon, di mana para dokter memperkirakan ia tak akan hidup
lama karena kondisi dan luas luka bakarnya. Namun demikian, sesudah menjalani
masa 14 bulan perawatan, melalui 17 kali operasi dan bertahun-tahun terapi
susulan akhirnya dia bisa pulih.
Dua puluh tahun kemudian ia
menikah dengan pemuda Vietnam dan berbulan madu di Moscow. Saat pesawatnya
menuju kembali ke Kuba, dan mampir di New Foundland untuk mengisi bahan bakar,
mereka melarikan diri untuk memperoleh suaka politik
Canada. Kim Phúc beserta suami dan dua orang anaknya telah menjadi warga
negara Canada dan menetap di Toronto.
Ada satu hal yang menarik pada salah satu bagian pidatonya saat diundang ke Washington pada tahun 1996. Di depan
ribuan veteran tentara AS pada perang Vietnam Kim Phúc berkata: "Seandainya saya bisa bertatap muka dengan
pilot pembom itu, saya akan bilang, kita tidak bisa mengubah sejarah. Tapi kita
bisa berbuat baik untuk hari ini dan hari yang akan datang demi perdamaian." Seorang hadirin, John Plummer, menulis di kertas: "I
am that man," dan meminta petugas meneruskannya ke Kim Phúc.
Setelahnya, si bekas komandan yang mengaku
mem-berikan perintah pemboman itu menemuinya dan meminta maaf. Keduanya
berpelukan dan Kim Phúc memaafkannya.
Berikut ini adalah pernyataan pribadi Kim Phúc tentang apa yang dia
alami.
“Seusai dirawat di rumah sakit sekian lama, hatiku
merasa sesak saat kembali ke rumah. Tempat kediamanku hancur lebur, semua yang kumiliki musnah. Apa yang kulakukan kini hanyalah untuk menyambung hidup, dari
hari ke hari.
Kendati rasa ngilu, nyeri dan sakit kepala menjadi beban berkepanjangan,
namun masa pemulihan yang panjang di rumah sakit itu menguatkan mimpiku untuk
menjadi seorang dokter. Saya memang sempat menjalani sekolah kedokteran sesuai
dengan mimpiku itu, namun harus kulepaskan di tengah jalan.
Kemarahan yang tersimpan di hatiku
karena peristiwa itu terpendam dan menggumpal menjadi kebencian yang memuncak setinggi gunung! Aku membenci
hidup, aku membenci orang lain dan aku berkali-kali
ingin mati!
Kuhabiskan hari-hariku di
perpustakaan, melahap berbagai buku rohani untuk mengetahui dan memastikan
tujuan hidupku. Salah satu dari banyak buku yang aku baca adalah Alkitab.
Pada peringatan Natal tahun
1982, aku menerima Yesus Kristus sebagai Juru Selamatku. Saat itulah yang telah
menjadi titik balik yang luar biasa bagi kehidupanku. Allah telah menolongku
untuk belajar mengampuni — sebuah pelajaran yang amat sangat susah untuk
dijalankan. Belajar untuk mengampuni itu tidak dapat dilakukan dalam satu hari,
di samping juga bukan merupakan suatu hal yang mudah. Namun akhirnya aku dapat
melakukan itu.
Bom Napalm memang mempunyai kekuatan yang luar biasa, namun iman,
pengampunan dan kasih lebih adidaya. Kita tidak akan pernah mengalami kejamnya peperangan jika setiap orang dapat belajar
tentang bagaimana hidup dengan kasih sejati, pengharapan dan pengampunan.
Jika Si Upik
di dalam gambar tersebut di atas dapat melakukannya, silakan bertanya kepada diri sendiri: “Mampukah aku?”
Pengampunan itu telah menjadikan aku bebas dari rasa benci.
Aku masih memiliki
banyak bekas luka di tubuhku
selain rasa ngilu yang berkepanjangan,
namun hatiku
telah dicuci bersih
dari rasa benci.
(Kim Phúc, NPR, 2008)
Menurutmu, Siapakah Sesamamu? (3)
JEBAKAN TIKUS
Petani dan istrinya sedang membuka sebuah bungkusan dan seekor tikus
mengintip dari celah retakan tembok. "Ada
makanan apa di dalamnya, ya?" pikir Si Tikus. Dia kaget setengah mati,
ternyata isinya jebakan tikus. Si Tikuspun lari keluar dan memberi peringatan:
"Ada jebakan tikus di dalam! Ada
jebakan tikus di dalam rumah !"
Seekor ayam yang sedang mengais tanah, mengangkat lehernya dan bilang:
"Tuan Tikus, saya hanya bisa bilang,
ini liang kubur untukmu, nggak ada urusannya dengan saya. Jangan ganggu saya
dong!."
Lalu Si Tikus mengarah ke kambing dan berkata: "Ada jebakan! Jebakan tikus dalam rumah!" Kambing agak
bersimpati, dan menjawab: "Mohon
maaf, Tuan Tikus, tapi saya tidak bisa berbuat apa-apa kecuali berdoa.
Percayalah, kamu ada dalam doaku."
Si Tikus lalu menuju ke sapi dan berkata: "Ada jebakan, ada jebakan tikus di situ!" Dan sapi menjawab:
"Wah... Tuan, maaf, maaf, nggak ada
urusannya sama saya."
Dengan lemas Si Tikus kembali ke rumah itu, kepala merunduk dan hilang
semangatnya karena harus berhadapan dengan jebakan petani itu sendirian.
Di malam yang tenang itu, terdengar suara, seperti jebakan tikus menjepret
korbannya. Istri petani datang untuk melihat hasilnya. Di dalam kegelapan, ia
tidak tahu kalau perangkap tikus itu telah menjepit buntut seekor ular. Ular
menggigit istri petani itu. Petani buru-buru membawanya ke rumah sakit dan
kembali ke rumah dengan istri dalam keadaan demam.
Orang-orang pun tahu, menurunkan demam biasanya dengan makan sop ayam
hangat. Petani menangkap ayam, memotongnya dan dagingnya dijadikan bahan sop.
Namun, sakitnya tetap berlanjut. Setiap hari para tetangga datang menengoknya
dan ngobrol cukup lama dekat ranjangnya. Untuk memberi makan para tamu itu,
dipotonglah kambing. Tidak sembuh-sembuh juga, akhirnya istri petani meninggal.
Begitu banyak tetangga dan famili melayat, sehingga petani harus memotong
sapinya untuk memberi hidangan bagi mereka.
Selama berhari-hari Si Tikus, dengan sangat sedih, mengintip semua kejadian
ini dari celah tembok. Ancaman yang dia rasakan dan dia sampaikan kepada
rekan-rekannya tidak mereka pahami. Semua teman-temannya yang diharapkan
solider, bahkan binasa.
Jika saudara memahami cerita di atas dan berpikir hal itu tidak tidak berhubungan dengan saudara,
ingatlah!
Kita semua ada di dalam rombongan perjalanan, yaitu
perjalanan hidup. Kita harus saling memperhatikan dan mendukung satu dengan
yang lain, karena setiap diri kita merupakan benang pakan utama bagi tenunan
indah orang lain. Semoga!.
Tidak
adanya rasa damai
bersumber dari kealpaan kita
bahwa kita semua ini saling memiliki.
bahwa kita semua ini saling memiliki.
(Bunda Teresa)
Menurutmu, Siapakah Sesamamu? (2)
Ayah Seorang Marinir.
Senja itu seorang perawat mengantar seorang perwira AL muda yang tampak lelah
namun dipenuhi rasa ingin tahu, ke tepi ranjang seorang pasien.
"Anakmu ada di sini," katanya kepada bapak
tua yang sedang terbaring. Si perawat mengulangi kalimat itu beberapa kali,
sampai akhirnya pasien itu membuka matanya.
Karena masih dalam pengaruh obat akibat serangan jantungnya, pasien
tersebut hanya bisa samar-samar melihat
adanya seorang Perwira AL muda berseragam yang berdiri di samping
ranjangnya. Ia menyorongkan tangannya.
Perwira muda itu mendekapkan jari-jarinya ke kepalan tangan orang tua
itu, serta meremasnya sebagai tanda kasih
dan dukungan semangat. Perawat kemudian menyorongkan kursi kepada
perwira itu untuk duduk dan pergi meninggalkan mereka berdua.
Sepanjang malam perwira tersebut duduk di situ dalam sinar lampu yang temaram,
menggenggam tangan si pasien tua sambil mengungkapkan kata-kata sayang dan
penguatan. Setiap kali perawat datang memeriksa keadaan pasien selalu sambil
menyarankan perwira muda itu untuk beristirahat sebentar tapi selalu
ditolaknya. Perwira muda itu tidak perduli terhadap suara berisiknya rumah
sakit: benturan tangki oksigen, tawa perawat yang tugas malam, tangisan dan
erangan pasien-pasien lainnya. Setiap kali yang diperhatikan dan dilihat
perawat bahwa perwira muda tersebut selalu berbicara menyampaikan kata-kata
lembut kepada pasien tua yang terpejam diam
menanti ajalnya. Jemari keduanya saling menggenggam erat sepanjang
malam.
Menjelang fajar, pasien tua itu pun wafat. Perwira muda itu melepaskan
genggaman tangannya dan beranjak ke luar kamar menuju meja perawat untuk
memberitahukannya. Para perawat pun segera sibuk melakukan persiapan, sementara
perwira muda tersebut menunggu.
Si perawatpun mendatanginya seraya menyampaikan rasa duka dan simpatinya,
tapi perwira itu memotong bicaranya.
"Sebetulnya, siapakah bapak itu?"
tanyanya kepada si perawat.
Perawat terkesima, "Dia ayahmu,"
jawabnya.
"Tidak,
dia bukan ayahku," sergah si perwira,
"Saya belum pernah melihat dia
seumur hidup saya," lanjutnya.
Perawat yang kebingungan itu pun bertanya, "Lalu, kenapa Anda tidak bilang ketika saya bawa anda kepada dia?".
Sambil tersenyum perwira muda itu pun menjawab,
"Saya tahu kalau telah terjadi
kesalahan, tapi saya juga tahu bapak itu
membutuhkan anaknya, sementara itu anaknya tidak ada di sini. Ketika
saya mengetahui dia terlalu parah untuk mengenali bahwa saya anaknya atau
bukan, maka saya menyadari betapa dia sangat membutuhkan anaknya, dan saya pun
memutuskan untuk tetap di sampingnya."
Subscribe to:
Posts (Atom)