Saturday, February 21, 2015
Lagu Bernotasi Angka
Kebiasaan menulis lagu dengan not angka (solmisasi) berawal dari kesukaan saya menyanyi, yang kemudian ternyata berlanjut dengan keperluan menulis lirik-lirik lagu yang saya senangi.
Beberapa lagu baru yang hanya sesekali dinyanyikan dan lagu-lagu dengan judul yang sama atau mirip, menjadi kesulitan tersendiri bagi saya saat menyanyikannya di belakang hari. Oleh karenanya saya mulai menulis lirik lagu dengan notasi. Saya menggunakan notasi angka, karena hanya notasi itu yang tersedia dan yang diajarkan di sekolah.
Hal itu saya lakukan, mulai dari menulis tangan dengan media kertas grafik agar rapi. Di era mesin ketik, saya mempergunakannya dengan mengolah ketrampilan memainkan spasi dan gandar untuk menempatkan garis atas (1/2 dan 1/4) serta titik atas dan bawah sebagai penanda nada tinggi dan rendah. Saat itu saya bangga dapat membuat ketikan lagu bernotasi yang bersih dengan menggunakan "Remington" punya ayah. Saat komputer muncul di awal 80an, saya mulai mengerjakannya dengan "Amstrad," PC pertama saya buatan Inggris dengan processor 8086/16bit dengan 3 OS, yaitu CPM, DOS dan Windows 1.0. Saya menulis lagu dengan menggunakan aplikasi spreadsheet untuk menjaga konsistensi dan kerapihan hasil. Saya menggunakan aplikasi VisiCalc, kemudian segera berpindah ke Lotus 123 dan secepatnya ke Quattro Pro karena dapat menghasilkan cetakan grafis meskipun menggunakan dot matrix printer. Di masa kini, versi Windows cepat sekali berubah, namun media spreadsheet tetap saya pakai, yaitu dengan MS-Excel.
Sampai pada suatu waktu saya dapat memperoleh font untuk menulis notasi angka buatan Pendeta Yoas Adiprasetya dari GKI. Font yang oleh pembuatnya dinamakan "Notasi Angka" ini merevolusi cara saya menulis lagu, karena sekarang saya dapat menggunakan berbagai media dengan mudah dan RAPI, seperti MS-Word dan PowerPoint.
Terima kasih Pdt. Yoas, your LOL (Labor Of Love) is fruitful! GBU!
Sampai pada suatu waktu saya dapat memperoleh font untuk menulis notasi angka buatan Pendeta Yoas Adiprasetya dari GKI. Font yang oleh pembuatnya dinamakan "Notasi Angka" ini merevolusi cara saya menulis lagu, karena sekarang saya dapat menggunakan berbagai media dengan mudah dan RAPI, seperti MS-Word dan PowerPoint.
Terima kasih Pdt. Yoas, your LOL (Labor Of Love) is fruitful! GBU!
Saturday, January 17, 2015
One 4 All, All 4 One!
Semboyan
diatas sangat populer dan kita, dari
kanak-kanak hingga orang tua, pasti mengenalnya
dari film “The Three Musketeers.”
Film itu merupakan adaptasi novel klasik Alexandre Dumas
(1844) yang sejak tahun 1900 telah diproduksi lebih dari 30 versi (di luar
kartun, komik dan serial).
Semangat semboyan itu adalah adanya empati yang tumbuh dalam kebersamaan
didalam menghadapi suatu tantangan.
Tiga seri sebelumnya merupakan perenungan tentang kita
sebagai kaki-tangan Tuhan Yesus untuk melayani sesama, tentang aksi empati yang telah dicontohkan dan dilakukan oleh gereja dan tentang kesiapan
kita untuk melakukan revolusi mental dengan tindakan berempati tanpa menunggu orang lain
melakukan.
Dengan demikian, semboyan
itu dapat memiliki makna yang lebih dalam lagi!
“One For All” (satu untuk semua) merupakan pernyataan empatis universal Tuhan Allah melalui karya agung penebusan dosa oleh Tuhan Yesus! Sungguh merupakan suatu aksi empati
total, yang secara manusiawi juga
diteladankan oleh Abraham melalui keikhlasannya mengorbankan Ishak (lih. Kej.
22 : 7 – 12). Sedangkan “All For
One” (semua untuk satu) dapat dimaknai
sebagai kesanggupan umat untuk melakukan
Hukum Kasih-Nya.
Di dalam keseharian, hal itu dapat kita lakukan dengan
menggerakkan lingkungan kita yang
terkecil, yaitu keluarga, sambil memupuk bibit empati bagi anak-anak. Kita dapat memulainya dengan menanamkan pengertian
bahwa empati itu tidak semata-mata berarti berkorban. Berempati juga dapat memberikan kelegaan. Misalnya menyapa orang sekeliling
saat di gereja dengan: “Shalom”, “Selamat pagi”, “Selamat hari Minggu.” Dapat juga kita ajarkan kepada anak kata dan tindakan berempati: “Prita, di depan itu
kan tante Mini yang rumahnya kita lewati tiap hari? Coba ajak dia ikut mobil
kita!” Atau disaat membeli jajanan di depan gereja: “Abdiel, bungkusan ini nanti kamu
berikan si Wahyu, anak tukang warung dekat rumah kita ya!”
Itulah contoh-contoh sederhana yang sebenarnya merupakan
inti konsep hidup sejahtera. Konsep hidup
yang melampaui kekayaan, karena tidak ada harta di dunia yang dapat membeli kebahagiaan, kelegaan, kesenangan, kedamaian dan
kepuasan hati. Ajaran Tuhan Yesus dalam Matius 5 kiranya dapat menjadi landasan iman kita.
Mari, kita jadikan diri kita sebagai “The All Musketeers,” dan berjuang dengan semboyan: “Unus Pro Omnibus, Omnes Pro Uno, Soli Deo
Gloria!” (Satu untuk semua, semua untuk satu, hanya demi kemuliaan Tuhan!).
Revolusi Mental….!
Sudah banyak contoh
empatis yang telah dilakukan oleh gereja
secara nyata seperti yang sudah dibahas minggu lalu. Secara konsep juga
ternyata sudah dilakukan dengan mengupayakan pembinaan untuk membangkitkan dan menumbuhkan empati.
Komisi Anak dan Remaja berbagi rasa dengan berkunjung ke panti asuhan anak berkebutuhan khusus, Komisi Pemuda melakukan live-in (menginap dan beraktivitas) di sebuah panti asuhan dan Komisi Dewasa
mempunyai jadwal tetap berkunjung ke sebuah
panti wreda.
“Cukuplah itu
semua!” kata sang isteri memecah konsentrasi
saya. “Cukup?” kata saya karena kaget. “Ya
cukuplah! Mau berapa banyak lagi
kegiatan...” sambar dia berapi-api,
tapi saya potong: “Sebentar Ma, ini kan
sambungan renungan minggu lalu. Baca nggak yang minggu lalu?” “Baca dong! Itu kan soal bagaimana kita berempati
pada orang lain?” jawab dia dengan bangga. Sambung saya: “Ya
itulah, gereja telah memberikan contoh bagaimana berempati dan melakukan
pembinaan untuk membangkitkan dan
menumbuhkan empati. Sekarang giliran kitalah, sebagai gereja yang
dipanggil ke luar, untuk berempati dan
berbagi kepada orang-orang di sekitar kita.” Dengan tangkas isteri
saya menukas: “Pa, gak gampang itu! Kalau
kita gak pernah susah atau gak pernah
bergaul dengan orang susah, jangankan
berbagi, empati pun gak muncul! Saya pun terdiam.
Benar juga kata isteri saya kalau empati tidak akan muncul
secara mendadak. Empati dibangun dan bertumbuh melalui pengalaman serta pengendapan
sehingga menjadi bagian dari hati dan sikap mental kita.
Caranya? Dengan keberanian dan kesadaran penuh, kita
melakukan “mental switch” (istilah
tahun 80an yang disimbolkan dengan logo “On-Off” diatas) atau revolusi mental yang dipolulerkan Presiden Jokowi! Intinya adalah menjadikan diri kita
sebagai orang Samaria yang baik hati dan melakukan hal yang baik, tanpa
menunggu apakah orang lain melakukannya! Saya
meyakini kalau mental switch itu
merupakan praktek dari pepatah: “Nothing
is easy, but nothing is impossible!” (tidak ada yang mudah, namun tidak ada
yang mustahil didalam melakukan sesuatu).
Petunjuk lainnya? HUKUM KASIH (lih. Mat. 22 :
37 – 40) yang telah kita imani dan amini. Kita tentu tidak perlu menunggu
dengan penuh kekagetan mendengarkan permintaan
anak terkasih: “Pa, Ma, ulang
tahun Jemima nanti di panti asuhan saja ya?!”
Kasihan mereka ya….? (So what…..?!)
Gambar yang memilukan di atas saya peroleh berkat bantuan mBah Gugel saat menuliskan kata kunci: “kasihan mereka.” Bagi pecinta fotografi, pesan kemanusiaannya sangat
kuat dari komposisi kakak yang memangku adik, keduanya kumal, sedang tidur
dengan lelap beralas kardus kotor, sementara
di depan mereka ada sebuah botol susu berisi air! Belum cukup? Masih ada
garis diagonal yang dengan tegas memisahkan
dua warna kontras, seakan merupakan
garis demarkasi nasib mereka!
Namun demikian, jika kita meminta bantuan mBah Gugel dengan kata kunci sama dalam bahasa
Inggris: “(have) pity on them,” maka
kita akan menemukan gambar-gambar tentang karya kasih Tuhan Yesus semasa
hidup di dunia.
Sungguh sangat kontras!? Satu hal yang diungkap dengan bahasa
yang berbeda ternyata berbeda juga hasilnya!
“…pasti karena perbedaan budaya/peradaban!” celetuk saya tanpa sadar. “Ada
apa, Pa?” tanya anak
bungsu saya yang duduk semeja sambil membaca e-book. Sambil menjelaskan
temuan diatas, saya ajak dia berdiskusi. Tambah saya: “Bahasa kan pendukung dominan ada dan berkembangnya peradaban.....”
“Aaah, sok ilmiah Papa ini” dia menukas.
Lanjutnya: “Sederhana saja kok Pa,
orang luar sono itu, yang kita bilang individualis
dan egois, senyatanya adalah makhluk yang suka berempati dan berbagi! Nggak
usahlah kita lihat berapa milyar dollar donasi Bill Gates, Warren Buffet,
George Soros.… tapi ini Pa contoh sederhana bagaimana mereka berbagi: External harddisk satu tera ini 80% penuh dengan
info gratis dan legal dari internet!” kata anak saya berapi-api. Saya pun
menanggapi: “Bersyukurlah Papa tidak
perlu keluar duit buat beli buku, hé, hé. Soal berbagi, kita juga nggak perlu jauh-jauh melihat ke seberang.
Di kandang sendiri juga sudah banyak contoh:
Klinik Karya Kasih, bantuan biaya sekolah, bantuan korban bencana, bantuan daerah tertinggal…..” Anak
saya memotong: “OK Pa, kalau sudah jelas
seperti itu ngapain dibahas lagi?” Jawab saya ringan: “Just do it! Dan LANJUTKAN!”
Sunday, January 4, 2015
Akukah Itu?
Sejak kecil, saya menggemari komik (juga kartun dan
karikatur). Kecerdasan imaginer pencipta mampu menuangkan gagasan kedalam
bentuk coretan gambar sederhana dan ekspresif dengan kalimat pesan yang padat
pada ruang yang terbatas, seperti pada
kartun di atas.
Konsentrasi saya terpecah di saat Nathan, cucu saya yang
berusia 3 tahun, menarik tangan untuk meminta di pangku. Dia diam sejenak
sambil mengamati layar komputer, namun tiba-tiba dia berbicara: “Éyang (kakek), itu Tuhan Yesus ya?” dengan jarinya yang mungil menunjuk ke
gambar di layar. “Kata Ibu Endang,
Tuhan Yesus sayang pada anak-anak!” (rupanya dia masih ingat cerita ibu
guru sekolah Minggu). “Eh, ehm…ya?!” jawab saya sambil terus
mengetik. Merasa kurang diperhatikan, dia
beringsut di pangkuan, memegang muka saya dan mengarahkan kontak mata
dia dengan saya, kemudian berbicara: “Eyang, eyang! Lihat itu, Tuhan Yesus sedih ya?” Jawab saya: “Betul,
Tuhan Yesus nampak sedih!
Lihat, dengan wajah sedih Dia memeluk gedung gereja!”
Nathan: “Tidak memeluk orang dan anak-anak ya eyang?”
Eyang: “Nggak ada tuh!
Orang-orang lebih suka di dalam gereja karena nyaman; kan pakai AC!”
Perbincangan terputus ketika dia diajak mamanya tidur siang.
Kembali
ke laptop! Secara jujur (meski pahit), kita memang harus mengakui bahwa kita
merasa nyaman berada di dalam gereja,
mencari “keselamatan”!
Lhoh?!
Bukankah kita ini orang Kristen, pengikut Kristus, orang-orang yang dipilih oleh
Kristus untuk DISELAMATKAN, sehingga
kita juga sudah menjadi bagian tubuh Kristus? (lih. Kol. 1 : 8).
Kini semakin jelas konstelasinya; Kristus adalah kepala dan
kita sebagai anggota tubuh-Nya (lih. Rm. 12 : 4 – 5), seperti visualisasi gambar
dibawah ini.
Satu hal lagi; Kita tentu masih ingat KJ 257 – “Aku Gereja, Kau Pun
Gereja.” Meskipun hampir tidak pernah dinyanyikan di kebaktian Minggu, kita
tetap bisa menyanyikannya karena dulu pernah diajarkan di sekolah Minggu. Apa
yang menginspirasi penciptaan lagu ini? Injil
Yohanes 2 : 21 mengajarkan kepada kita bahwa tubuh Kristus itulah Rumah Tuhan dimana kita adalah bagian dari Rumah Tuhan. Jadi, saudara, saya, kita, adalah GEREJA itu!
Ha, ha, ha! Sekarang jelaslah bagi saya arti pesan gambar kartun “Tuhan Yesus bersama sahabat
maya-Nya.” Kartun itu memuat pesan: JERUK makan JERUK! Ada gereja (orang-orang
Kristen) di dalam (gedung) gereja! LLL!
“Hi, hi, hi, pantes aja Tuhan Yesus tampak sedih dan
loyo!”
suara renyah isteri terdengar di belakang
saya. Sambung saya: “Ya itu, jeruk mangan
jeruk…kita ini kan sukanya ngupleeek…aja di
dalam. Bikin sendiri, dinikmati sendiri… sampai gak tahu kalau taman di
depan gereja sudah ludes dilalap belalang kelaparan”. Lanjut saya: “Gereja, maksud saya kita orang Kristen, kan
harus keluar! Seperti maksud kata aselinya EKLESIA, kita itu adalah orang-orang
yang dipanggil keluar! Menjadi tangan-tangan
dan kaki-kaki Tuhan Yesus untuk melayani dunia, melayani sesama!”
Isteriku diam, namun tiba-tiba nyeletuk: “Èh Pa, aku jadi teringat khotbah
seorang pendeta di GKITA tahun lalu.
Beliau berkata akan lebih senang kalau melihat gereja kosong, sementara
jemaat yang notabene adalah gereja-gereja pergi keluar melayani.” Kata saya, sambil
menutup tulisan: “Ya begitulah maksudnya; keluarlah dan lakukan sesuatu bagi sesama!”
Tuesday, July 22, 2014
Subscribe to:
Posts (Atom)