Thursday, July 25, 2013
Tuesday, July 23, 2013
Thursday, June 27, 2013
Sura Dira Jayaningrat, Lebur Dening Pangastuti
My Lord, God of infinite love,
Thy shower of limitless blessing is constantly pouring
even in my adamant rebellious life.
Thy mercy through crucified Jesus is sparing
that my cleansed heart would thrive.
(Sensura morum preparation)
Wednesday, June 26, 2013
Servant Leader? Yes, you can (serve)!
Servant Leader? Yes, you can (serve)!
Bagi sebuah perusahaan, logo adalah identitas yang penting dan mempunyai
nilai komersial tertentu, sehingga tidak jarang suatu perusahaan dengan sadar
memalsu logo perusahaan lain untuk suatu keuntungan tertentu. Logo ternyata
juga sama pentingnya bagi individu yang rela mengejar suatu barang dengan logo
tertentu, untuk suatu keuntungan tertentu pula, seperti gengsi, kelas, pamèr!
Salib, katanya,
sudah menjadi logonya orang Kristen. Apakah SALIB
sudah menjadi logo kita, sehingga kita juga rela mengejar salib seperti
barang berlogo? Apakah logo salib itu sudah lekat di hati kita?
“Pah,
Jaka Sembung dèh!,” (kaget juga saya mendengar suara tanpa rupa dari belakang saya). “Apanya
yang gak nyambung?” tanya saya spontan kepada isteri tercinta (yang
ternyata dari tadi berdiri di belakang saya). “Itu Pah, yang paling atas kan tema bulan ini tentang peran gereja
terhadap umat; sementara itu, judul tulisan Papah tentang ‘servant leader’ –
pemimpin yang melayani! Ini tentang peran umat terhadap gereja!
Bertolakbelakang kan?,” tukas isteri saya. “Sabaaaar...,” jawab saya; “Selama
empat minggu beturut-turut, pusat renungannya adalah ‘apa yang gereja bisa berikan kepada umat’; boleh kan kalau satu kali
ini saja saya menyoroti dari sisi yang lain, yaitu ‘apa yang umat bisa berikan kepada gereja’?.” Isteriku
cepat-cepat merespons: “Lho, kok nada
bicara Papah jadi ‘crescendo’? Lagi kesel ya?.” Saya diam sejenak, mencerna kata-katanya. Sejujurnya, saya memang sedang
galau. Pada kebaktian minggu lalu saya menyaksikan peneguhan empat orang
penatua baru. HANYA EMPAT ORANG dari sekitar 1.500 umat! (sikap skeptis saya
ini agak “terhibur” juga mendengarkan narasi Ibadah Reflektif Kamis Putih yang
diambil dari Matius 26 : 36 – 46 tentang pergumulan batin Tuhan Yesus melalui doa-doa-Nya
di Taman Getsemani, sementara para murid tidur
dengan lelap!). Fakta kesejarahan peristiwa di Taman Getsemani ternyata
berulang dan berlanjut hingga masa kini! Kita semua yang juga menjadi
murid-murid Tuhan Yesus di masa kini sedang dalam masa HIBERNASI (masa tidur
panjang)!
Kembali ke laptop! Saya kemudian menanggapi pertanyaan terakhir isteri saya: “Nggak
kesel sih! Hanya.... (saya tidak jadi mengungkap kegalauan saya) itu
lho.... soal apakah logo salib itu sudah melekat di hati kita. Padahal Tuhan
Yesus di dalam berbagai kesempatan dengan gamblang telah banyak memberikan
contoh tentang ‘servant leadership’ – kepemimpinan yang melayani.”
Yes, But….? (5 - Simpulan)
Yes, But….?
Petunjuk lalu-lintas tersebut memberi tahu kalau kita boleh berbelok ke kiri atau ke
kanan. Jadi tanda itu HANYA mengijinkan kita untuk memilih SATU tujuan!.
Demikian pula halnya dengan pilihan antara
iman dan konsumerisme, HANYA SATU
pilihan. Mengapa?
Ingatkah kita akan
renungan seri 1 tentang “isme”? Jalan
hidup yang mana akan kita tempuh, dengan mengingat bahwa kita tidak bisa mengabdi pada dua tuan? Sangat sering kita
berkilah: “Yes, but…; Ya, tapi….,” agar kita
dapat masuk ke wilayah abu-abu!
Ingatkah kita tentang bagaimana ular kita sebut
sebagai “kambing hitam” di renungan seri 2?. Agar kita bisa memanjakan perangai “menjadi berarti”, agar kita
dapat menjadi “aku
lebih”, “aku dulu”, “aku beda”, “aku juga” dan “aku-aku” lainnya, demi “kemuliaanku.”
Ingatkah akan renungan seri 3 dimana kita
secara gampang berseloroh: “Iman sih kuat,
tapi... si Amin ini yang nékad.”? Agar kita sah untuk berkata: “Jadilah kehendakku!.”
Ingatkah kita akan
renungan seri 4, minggu yang lalu, tentang perilaku kita yang sangat sia-sia? Kita rela untuk “gali lobang, tutup lobang” agar ke-”perlu”-an kita
terpuaskan, tanpa menyadari bahwa hal itu sama dengan: “Membeli sesuatu yang kita tidak perlu, dengan uang yang kita tidak punya,
untuk pamer kepada orang yang kita tidak ke-nal!”.
Empat alasan diatas paling tidak menjawab pertanyaan mengapa
hanya ada satu pilihan untuk kita, karena dalam iman Kristen tidak ada wilayah abu-abu dan tidak ada wilayah hitam. Hanya ada wilayah putih,
sejalan dengan panduan hidup Tuhan melalui surat Rasul Paulus kepada jemaat di Korintus: “Jika engkau makan atau jika
engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah
semuanya itu untuk kemuliaan Allah” (I Kor. 10 : 31 ). (Sebagai
kota pelabuhan
yang ramai pada zaman-nya, seperti kota
Jakarta sekarang,
Korintus menjadi kota
yang angkuh secara intelek, kaya secara materi, dan bejat secara moral).
“Pah...,” suara isteriku memecah konsentrasiku,
“kasih tip dong, agar aku bisa fashionable without being consumtive!.”
“Bener nih, mau
tip saya? Piece of cake…gampang! Ambil saja kantong gandum USAID Amerika itu,
lipat memanjang dan potong lengkung kedua
sisinya… “voila!,” jadilah satu baju
“yukènsi” dengan gambar tangan
bersalaman lagi!,” ujarku
sambil berlari menghindari rudal kelom geulis.Wani Pira? (4)
Wani Pira?
Sebagian besar dari kita tentu kenal dengan ungkapan iklan
diatas yang menjadi tema kali ini. Iklan itu memuat pesan tersamar karena
produk yang ditawarkan adalah rokok! Kalau
produk lainnya? Wah, sangat bebas dan
beragam, mulai dari iklan yang anggun sampai dengan iklan yang vulgar.
Masih ingatkah kita pada bagian akhir renungan minggu lalu bahwa kita (konsumen) sudah bukan lagi raja!
Kerajaan itu sekarang menjadi milik para produsen yang dengan
“kekuasaan” (anggaran besar) “memerintah” (membujuk dengan iklan dan
iming-iming) sehingga kita “takluk” (membeli)
dan menjadi “budak” (tergantung). Pada tahun 80an ada iklan kartu kredit dengan slogan: “Don’t leave home without it!”
(Jangan tinggalkan rumah tanpa membawa kartu kredit “X”). Kini, slogan itu sudah waktunya diganti dengan: “Leave
home and bring THEM all!” (Pergilah dan bawalah SEMUA kartu kredit).
Mengapa? Karena kita menjadi ultra “perlu” mempunyai banyak kartu kredit sekedar “gali lobang, tutup lobang” agar ke-”perlu”-an kita terpuaskan. Kita sudah
terperangkap di dalam terowongan gelap tak berpangkal dan tak berujung
yang bernama KONSUMERISME!
“Horas Lae!”,
sapaan bekas guru Fisika menantuku yang cantik itu mengusik keasyikanku menikmati tusuk
terakhir di warung sate dekat masjid.
“Eh, ya… horas juga Pak!” jawabku gagap karena ketahuan lagi
jajan. “Tenang sajalah, kalau yang ini
sih bukan konsumtif karena makan itu merupakan kebutuhan dasar yang masuk
dalam Skala Maslow paling rendah”, tukasnya berteori. Nampaknya Pak Guru
ini membaca seri tulisan-tulisan saya sebelumnya. Saya jadi tertarik
berdiskusi dengannya. “Menurut Pak Guru, apa yang masuk kategori
konsumtif?”. Dia mulai duduk, memesan sate dan dengan serius berbicara
dengan gaya
seorang guru: “Menurut aku, konsumtif itu… mmm…to buy something you don’t
need, with the money you don’t have, to impress someone you don’t know… begitu!”
lanjutnya: “Jadi, itulah… membeli sesuatu
yang kau tidak perlu, dengan uang
yang kau tidak punya dan celakanya… kau lakukan itu semua (nadanya
mulai naik) untuk pamer kepada orang yang kaupun tidak kenal, bah!”.
Daripada kena semprot sambal sate, pulanglah aku.
Lead Us Not Into Temptation, but…? (3)
Lead Us Not Into Temptation, but…?
Tulisan ke dua yang lalu diakhiri dengan potongan kalimat dari
Doa Bapa Kami yang sekarang menjadi judul renungan.
Judul renungan beserta ilustrasi di atas dimaksud untuk
memberi gambaran ungkapan plèsètan yang
seringkali dengan gampang kita ucapkan: “Iman sih kuat, tapi... si Amin ini
yang nékad.” Padahal arti kata “amin” adalah “jadilah (demikian).” Dengan begitu
maka ungkapan plèsètan tersebut telah sah
sebagai ungkapan keseharian kita: “Jadilah kehendakku!.”
Mereka yang berusia sekitar 60 tahun tentu pernah kesekolah
dengan membawa “sabak” (batu tulis) dan grip, buku tulis merang “Letjes” dan
pinsil “Buaya” tanpa memandang apa dia anak bupati, saudagar kaya atau anak buruh.
Ternyata zaman sekarang kita juga memakai sabak, dengan nama
yang beraneka, seperti Pad, Tab, Tablet dengan aneka merek pula! Yang bisa
beli? Pasti hanya yang berduit saja!
Hal diatas tentu bukan cara yang pas untuk membuat perbandingan yang adil, namun diharapkan ada
esensi yang dapat dipetik. Kita sudah harus dapat membedakan ungkapan “Apa
perlu?” (tindakan memilah ke-“ingin”-an) dengan “Perlu apa?” (tindakan memilih
ke-“perlu”-an).
Bagi mereka yang berusia sekitar 30 tahun barangkali tidak
mudah membedakan dua ungkapan itu karena mereka lahir dan besar di lingkungan yang sudah serba ada, dimana
keinginan dan keperluan sudah menjadi satu seperti muka uang logam.
Apa semua itu salah
mereka? Jelas bukan! Sebuah media cetak
nasional pernah memuat tulisan Dengan judul “Konsumen Adalah (BUKAN LAGI) Raja.” Lho? Sebab ternyata
penulis mengungkapkan fakta bahwa justru para produsen yang sangat gencar
menawarkan barang dan jasa. Mereka menjual melalui iklan di berbagai media, berafiliasi
dengan bank melalui bujukan uang muka rendah dan cicilan ringan, grup arisan, bahkan kita bangga memakai kaos liga
bola yang penuh dengan iklan! Kapan selesai? Hmm!
Subscribe to:
Posts (Atom)