Lead Us Not Into Temptation, but…?
Tulisan ke dua yang lalu diakhiri dengan potongan kalimat dari
Doa Bapa Kami yang sekarang menjadi judul renungan.
Judul renungan beserta ilustrasi di atas dimaksud untuk
memberi gambaran ungkapan plèsètan yang
seringkali dengan gampang kita ucapkan: “Iman sih kuat, tapi... si Amin ini
yang nékad.” Padahal arti kata “amin” adalah “jadilah (demikian).” Dengan begitu
maka ungkapan plèsètan tersebut telah sah
sebagai ungkapan keseharian kita: “Jadilah kehendakku!.”
Mereka yang berusia sekitar 60 tahun tentu pernah kesekolah
dengan membawa “sabak” (batu tulis) dan grip, buku tulis merang “Letjes” dan
pinsil “Buaya” tanpa memandang apa dia anak bupati, saudagar kaya atau anak buruh.
Ternyata zaman sekarang kita juga memakai sabak, dengan nama
yang beraneka, seperti Pad, Tab, Tablet dengan aneka merek pula! Yang bisa
beli? Pasti hanya yang berduit saja!
Hal diatas tentu bukan cara yang pas untuk membuat perbandingan yang adil, namun diharapkan ada
esensi yang dapat dipetik. Kita sudah harus dapat membedakan ungkapan “Apa
perlu?” (tindakan memilah ke-“ingin”-an) dengan “Perlu apa?” (tindakan memilih
ke-“perlu”-an).
Bagi mereka yang berusia sekitar 30 tahun barangkali tidak
mudah membedakan dua ungkapan itu karena mereka lahir dan besar di lingkungan yang sudah serba ada, dimana
keinginan dan keperluan sudah menjadi satu seperti muka uang logam.
Apa semua itu salah
mereka? Jelas bukan! Sebuah media cetak
nasional pernah memuat tulisan Dengan judul “Konsumen Adalah (BUKAN LAGI) Raja.” Lho? Sebab ternyata
penulis mengungkapkan fakta bahwa justru para produsen yang sangat gencar
menawarkan barang dan jasa. Mereka menjual melalui iklan di berbagai media, berafiliasi
dengan bank melalui bujukan uang muka rendah dan cicilan ringan, grup arisan, bahkan kita bangga memakai kaos liga
bola yang penuh dengan iklan! Kapan selesai? Hmm!
No comments:
Post a Comment