Sudah banyak contoh
empatis yang telah dilakukan oleh gereja
secara nyata seperti yang sudah dibahas minggu lalu. Secara konsep juga
ternyata sudah dilakukan dengan mengupayakan pembinaan untuk membangkitkan dan menumbuhkan empati.
Komisi Anak dan Remaja berbagi rasa dengan berkunjung ke panti asuhan anak berkebutuhan khusus, Komisi Pemuda melakukan live-in (menginap dan beraktivitas) di sebuah panti asuhan dan Komisi Dewasa
mempunyai jadwal tetap berkunjung ke sebuah
panti wreda.
“Cukuplah itu
semua!” kata sang isteri memecah konsentrasi
saya. “Cukup?” kata saya karena kaget. “Ya
cukuplah! Mau berapa banyak lagi
kegiatan...” sambar dia berapi-api,
tapi saya potong: “Sebentar Ma, ini kan
sambungan renungan minggu lalu. Baca nggak yang minggu lalu?” “Baca dong! Itu kan soal bagaimana kita berempati
pada orang lain?” jawab dia dengan bangga. Sambung saya: “Ya
itulah, gereja telah memberikan contoh bagaimana berempati dan melakukan
pembinaan untuk membangkitkan dan
menumbuhkan empati. Sekarang giliran kitalah, sebagai gereja yang
dipanggil ke luar, untuk berempati dan
berbagi kepada orang-orang di sekitar kita.” Dengan tangkas isteri
saya menukas: “Pa, gak gampang itu! Kalau
kita gak pernah susah atau gak pernah
bergaul dengan orang susah, jangankan
berbagi, empati pun gak muncul! Saya pun terdiam.
Benar juga kata isteri saya kalau empati tidak akan muncul
secara mendadak. Empati dibangun dan bertumbuh melalui pengalaman serta pengendapan
sehingga menjadi bagian dari hati dan sikap mental kita.
Caranya? Dengan keberanian dan kesadaran penuh, kita
melakukan “mental switch” (istilah
tahun 80an yang disimbolkan dengan logo “On-Off” diatas) atau revolusi mental yang dipolulerkan Presiden Jokowi! Intinya adalah menjadikan diri kita
sebagai orang Samaria yang baik hati dan melakukan hal yang baik, tanpa
menunggu apakah orang lain melakukannya! Saya
meyakini kalau mental switch itu
merupakan praktek dari pepatah: “Nothing
is easy, but nothing is impossible!” (tidak ada yang mudah, namun tidak ada
yang mustahil didalam melakukan sesuatu).
Petunjuk lainnya? HUKUM KASIH (lih. Mat. 22 :
37 – 40) yang telah kita imani dan amini. Kita tentu tidak perlu menunggu
dengan penuh kekagetan mendengarkan permintaan
anak terkasih: “Pa, Ma, ulang
tahun Jemima nanti di panti asuhan saja ya?!”
No comments:
Post a Comment