Sunday, August 11, 2013

Jaman Dulu, Bukan Jaman Sekarang!??


Tempo Doeloe
Hanya mencoba membangkitkan lagi ingatan saya tentang apa yang saya pernah baca di dalam buku Sejarah Indonesia dan cerita dari kakek tentang bagaimana Bangsa Indonesia berjuang merebut kemerdekaannya.

Terima kasih nenek-moyangku, para PAHALAWANku yang telah berjuang, menyerahkan nyawa mereka TANPA PAMRIH!

Masih ingat bagaimana kakek menceritakan kegigihan para pejuang kemerdekaan melawan penjajah dengan bersemboyan:

Sak dumuk bathuk,
Sak nyari bumi,
Tak bela Ibu Pertiwi!

Masih ingat bagaimana kakek menceritakan susahnya "long March sambil mengungsi."

Tempo Kini - 2013
Googling cari gambar untuk ilustrasi tentang "Indonesia Yang Kaya Raya & Makmur" ternyata sungguh-sungguh susah. Dapat gambar sawah dengan bulir-bulir padi yang gemuk menguning, tapi batal di ambil........beras masih impor......gambar yang lain? Bawang merah....bawang putih.....cabe? Juga masih impor!

Sementara itu berita TV mengabarkan kalau ada orang-orang ternama yang menjadi bergelimang uang dari impor daging.......dan uangnya untuk belanja "DAGING."

Nenek-moyang hanya bisa "ngelus dhadha, kebak ing panalangsa"

       bumi pertiwi terbelah,
              darah tertumpah membasah,
                             untuk kebebasan tanah,
                                           sumpah serapah untuk yang serakah!


Semoga ini menjadi pengingat kita semua menjelang 17 Agustus 2013.

Dirgahayu Repoeblik Indonesia tercinta.-

Tuesday, July 23, 2013

Thursday, June 27, 2013

Sura Dira Jayaningrat, Lebur Dening Pangastuti


My Lord, God of infinite love,
Thy shower of limitless blessing is constantly pouring
even in my adamant rebellious life.
Thy mercy through crucified Jesus is sparing
that my cleansed heart would thrive.
(Sensura morum preparation)

Wednesday, June 26, 2013

Servant Leader? Yes, you can (serve)!

Servant Leader?  Yes, you can (serve)!

Bagi sebuah perusahaan, logo adalah identitas yang penting dan mempunyai nilai komersial tertentu, sehingga tidak jarang suatu perusahaan dengan sadar memalsu logo perusahaan lain untuk suatu keuntungan tertentu. Logo ternyata juga sama pentingnya bagi individu yang rela mengejar suatu barang dengan logo tertentu, untuk suatu keuntungan tertentu pula, seperti gengsi, kelas, pamèr!
Salib, katanya, sudah menjadi logonya orang Kristen. Apakah SALIB sudah menjadi logo kita, sehingga kita juga rela mengejar salib seperti barang berlogo? Apakah logo salib itu sudah lekat di hati kita?
Pah, Jaka Sembung dèh!,” (kaget juga saya mendengar suara tanpa rupa dari belakang saya). “Apanya yang gak nyambung?” tanya saya spontan kepada isteri tercinta (yang ternyata dari tadi berdiri di belakang saya). “Itu Pah, yang paling atas kan tema bulan ini tentang peran gereja terhadap umat; sementara itu, judul tulisan Papah tentang ‘servant leader’ – pemimpin yang melayani! Ini tentang peran umat terhadap gereja! Bertolakbelakang kan?,” tukas isteri saya. “Sabaaaar...,” jawab saya; “Selama empat minggu beturut-turut, pusat renungannya adalah ‘apa yang gereja bisa berikan kepada umat’; boleh kan kalau satu kali ini saja saya menyoroti dari sisi yang lain, yaitu ‘apa yang umat bisa berikan kepada gereja’?.” Isteriku cepat-cepat merespons: “Lho, kok nada bicara Papah jadi ‘crescendo’? Lagi kesel ya?.” Saya diam sejenak, mencerna kata-katanya. Sejujurnya, saya memang sedang galau. Pada kebaktian minggu lalu saya menyaksikan peneguhan empat orang penatua baru. HANYA EMPAT ORANG dari sekitar 1.500 umat! (sikap skeptis saya ini agak “terhibur” juga mendengarkan narasi Ibadah Reflektif Kamis Putih yang diambil dari Matius 26 : 36 – 46 tentang pergumulan batin Tuhan Yesus melalui doa-doa-Nya di Taman Getsemani, sementara para murid tidur dengan lelap!). Fakta kesejarahan peristiwa di Taman Getsemani ternyata berulang dan berlanjut hingga masa kini! Kita semua yang juga menjadi murid-murid Tuhan Yesus di masa kini sedang dalam masa HIBERNASI (masa tidur panjang)!
Kembali ke laptop! Saya kemudian menanggapi pertanyaan terakhir isteri saya: “Nggak kesel sih! Hanya.... (saya tidak jadi mengungkap kegalauan saya) itu lho.... soal apakah logo salib itu sudah melekat di hati kita. Padahal Tuhan Yesus di dalam berbagai kesempatan dengan gamblang telah banyak memberikan contoh tentang ‘servant leadership’ – kepemimpinan yang melayani.”

Yes, But….? (5 - Simpulan)

Yes, But….?

Petunjuk lalu-lintas tersebut memberi tahu kalau kita boleh berbelok ke kiri atau ke kanan. Jadi tanda itu HANYA mengijinkan kita untuk memilih SATU tujuan!. Demikian pula halnya dengan pilihan antara iman dan konsumerisme, HANYA SATU pilihan. Mengapa?
Ingatkah kita akan renungan seri 1 tentang “isme”? Jalan hidup yang mana akan kita tempuh, dengan mengingat bahwa kita tidak bisa mengabdi pada dua tuan? Sangat sering kita berkilah: “Yes, but…; Ya, tapi….,” agar kita dapat masuk ke wilayah abu-abu!
Ingatkah kita tentang bagaimana ular kita sebut sebagai “kambing hitam” di renungan seri 2?. Agar kita bisa memanjakan perangai “menjadi berarti”, agar kita dapat menjadi “aku lebih”, “aku dulu”, “aku beda”, “aku juga” dan “aku-aku” lainnya, demi “kemuliaanku.”
Ingatkah akan renungan seri 3 dimana kita secara gampang berseloroh: “Iman sih kuat, tapi... si Amin ini yang nékad.”? Agar kita sah untuk berkata: Jadilah kehendakku!.”
Ingatkah kita akan renungan seri 4, minggu yang lalu, tentang perilaku kita yang sangat sia-sia? Kita rela untuk gali lobang, tutup lobang agar ke-”perlu”-an kita terpuaskan, tanpa menyadari bahwa hal itu sama dengan: “Membeli sesuatu yang kita tidak perlu, dengan uang yang kita tidak punya, untuk pamer kepada orang yang kita tidak ke-nal!”.
Empat alasan diatas paling tidak menjawab pertanyaan mengapa hanya ada satu pilihan untuk kita, karena dalam iman Kristen tidak ada wilayah abu-abu dan tidak ada wilayah hitam. Hanya ada wilayah putih, sejalan dengan panduan hidup Tuhan melalui surat Rasul Paulus kepada jemaat di Korintus: Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah” (I Kor. 10 : 31). (Sebagai kota pelabuhan yang ramai pada zaman-nya, seperti kota Jakarta sekarang, Korintus menjadi kota yang angkuh secara intelek, kaya secara materi, dan bejat secara moral).
Pah...,” suara isteriku memecah konsentrasiku, “kasih tip dong, agar aku bisa fashionable without being consumtive!.”
Bener nih, mau tip saya? Piece of cake…gampang! Ambil saja kantong gandum USAID Amerika itu, lipat memanjang dan potong lengkung kedua sisinya… “voila!,” jadilah satu baju “yukènsi” dengan gambar tangan bersalaman lagi!, ujarku sambil berlari menghindari rudal kelom geulis.

Wani Pira? (4)

Wani Pira?

Sebagian besar dari kita tentu kenal dengan ungkapan iklan diatas yang menjadi tema kali ini. Iklan itu memuat pesan tersamar karena produk yang ditawarkan adalah rokok! Kalau produk lainnya? Wah, sangat bebas dan beragam, mulai dari iklan yang anggun sampai dengan iklan yang vulgar. Masih ingatkah kita pada bagian akhir renungan minggu lalu bahwa kita (konsumen) sudah bukan lagi raja!
Kerajaan itu sekarang menjadi milik para produsen yang dengan “kekuasaan” (anggaran besar) “memerintah” (membujuk dengan iklan dan iming-iming) sehingga kita “takluk” (membeli) dan menjadi “budak” (tergantung). Pada tahun 80an ada iklan kartu kredit dengan slogan: “Don’t leave home without it!” (Jangan tinggalkan rumah tanpa membawa kartu kredit “X”). Kini, slogan itu sudah waktunya diganti dengan: “Leave home and bring THEM all!” (Pergilah dan bawalah SEMUA kartu kredit). Mengapa? Karena kita menjadi ultra “perlu” mempunyai banyak kartu kredit sekedar “gali lobang, tutup lobang agar ke-”perlu”-an kita terpuaskan. Kita sudah terperangkap di dalam terowongan gelap tak berpangkal dan tak berujung yang bernama KONSUMERISME!

Horas Lae!”, sapaan bekas guru Fisika menantuku yang cantik itu mengusik keasyikanku menikmati tusuk terakhir di warung sate dekat masjid. “Eh, ya… horas juga Pak! jawabku gagap karena ketahuan lagi jajan. “Tenang sajalah, kalau yang ini sih bukan konsumtif karena makan itu merupakan kebutuhan dasar yang masuk dalam Skala Maslow paling rendah”, tukasnya berteori. Nampaknya Pak Guru ini membaca seri tulisan-tulisan saya sebelumnya. Saya jadi tertarik berdiskusi dengannya.Menurut Pak Guru, apa yang masuk kategori konsumtif?”. Dia mulai duduk, memesan sate dan dengan serius berbicara dengan gaya seorang guru: “Menurut aku, konsumtif itu… mmm…to buy something you don’t need, with the money you don’t have, to impress someone you don’t know… begitu!” lanjutnya: “Jadi, itulah… membeli sesuatu yang kau tidak perlu, dengan uang yang kau tidak punya dan celakanya… kau lakukan itu semua (nadanya mulai naik) untuk pamer kepada orang yang kaupun tidak kenal, bah!”. Daripada kena semprot sambal sate, pulanglah aku.

Lead Us Not Into Temptation, but…? (3)

Lead Us Not Into Temptation, but…?


Tulisan ke dua yang lalu diakhiri dengan potongan kalimat dari Doa Bapa Kami yang sekarang menjadi judul renungan.
Judul renungan beserta ilustrasi di atas dimaksud untuk memberi gambaran ungkapan plèsètan yang seringkali dengan gampang kita ucapkan: “Iman sih kuat, tapi... si Amin ini yang nékad.” Padahal arti kata “amin” adalah “jadilah (demikian).” Dengan begitu maka ungkapan plèsètan tersebut telah sah sebagai ungkapan keseharian kita: “Jadilah kehendakku!.”
Mereka yang berusia sekitar 60 tahun tentu pernah kesekolah dengan membawa “sabak” (batu tulis) dan grip, buku tulis merang “Letjes” dan pinsil “Buaya” tanpa memandang apa dia anak bupati, saudagar kaya atau anak buruh.
Ternyata zaman sekarang kita juga memakai sabak, dengan nama yang beraneka, seperti Pad, Tab, Tablet dengan aneka merek pula! Yang bisa beli? Pasti hanya yang berduit saja!
Hal diatas tentu bukan cara yang pas untuk membuat perbandingan yang adil, namun diharapkan ada esensi yang dapat dipetik. Kita sudah harus dapat membedakan ungkapan “Apa perlu?” (tindakan memilah ke-“ingin”-an) dengan “Perlu apa?” (tindakan memilih ke-“perlu”-an).
Bagi mereka yang berusia sekitar 30 tahun barangkali tidak mudah membedakan dua ungkapan itu karena mereka lahir dan besar di lingkungan yang sudah serba ada, dimana keinginan dan keperluan sudah menjadi satu seperti muka uang logam.
Apa semua itu salah mereka? Jelas bukan! Sebuah media cetak nasional pernah memuat tulisan Dengan judul “Konsumen Adalah (BUKAN LAGI) Raja.” Lho? Sebab ternyata penulis mengungkapkan fakta bahwa justru para produsen yang sangat gencar menawarkan barang dan jasa. Mereka menjual melalui iklan di  berbagai media,  berafiliasi dengan bank melalui bujukan uang muka rendah dan cicilan ringan, grup arisan, bahkan kita bangga memakai kaos liga bola yang penuh dengan iklan! Kapan selesai? Hmm!

Bukan Aku… Tapi Ular Itu! (2)

Bukan Aku… Tapi Ular Itu!



Judul dan ilustrasi diatas kiranya cukup menjelaskan bagian Kitab Kejadian tentang “proses pencobaan” sehingga manusia jatuh ke dalam dosa. Melanjutkan renungan minggu yang lalu, kali ini kita akan membahasnya sebagai analogi mengapa konsumerisme menjadi “jalan hidup”.
Di dalam proses pencobaan itu, ada satu hal yang pasti yaitu: Allah tidak pernah mencobai siapa pun (Yak. 1:13). Celakalah si ular! Hanya karena Hawa bicara: Ular itu yang memperdayakan aku,” maka si ular mendadak berubah menjadi “kambing hitam!” dan ketika Adam berkata: “Perempuan itu yang memberikan buah pohon kepadaku,” maka kambing hitam itu sudah menjadi dua!. Kalau “yang merasa tidak tergoda” itu hanya satu, silahkan hitung berapa banyak kambing-kambing hitam itu sekarang di dunia!
Kejadian diatas terjadi ketika si ular mengusik nalar Hawa dengan berkata: “Tentulah Allah berfirman: Semua pohon dalam taman ini jangan kamu makan buahnya, bukan?.” Iblis tidak sembarangan bicara! Dia menyusun kalimatnya dengan memakai jargon psikologi “pernyataan negatif” (negative commands). Iblis tahu persis sifat dasar manusia: “miliki dan menjadi berarti” (to have is to be). Dengan gaya bahasa inilah nalar Hawa dan Adam dia eksploitir habis-habisan!.
Perangai “menjadi berarti” ini dapat berbentuk seperti “aku lebih”, “aku dulu”, “aku beda”, “aku juga” dan banyak “aku-aku” lainnya.
Dalam dunia modern, gaya bahasa iblis ini ternyata semakin luas dipakai di berbagai media iklan untuk menghipnotis khalayak agar ingin “menjadi (lebih) berarti”! Sifat dasar manusia (baca: kita) habis dieksplotir oleh dunia bisnis agar kita “dengan senang hati“ (baca: terbujuk) untuk memiliki hal yang sejatinya tidak “perlu.”
Mas, Mas tahu nggak…hhh” kata tetangga disela nafas beratnya saat kami jogging pagi. “Aku baru sadar kalau arloji Patek Philippe-ku ini self winding dan nggak perlu diputer selama 90 hari.” Nggak mau kalah, aku timpali dia: “Sama punyaku ini, tapi bisa hidup 1.000 hari dan jangan tanya harganya!” Dia berhenti, kaget dan bertanya: “Merek apa Mas?” Jawabku, sambil lari: “KASIO, di KASI Orang! ha, ha!
Mas turun sini kan?” kata sebelah saya menyadarkan lamunan. Sambil tersenyum saya turun dari bus 609 dan bergumam: “Ya Allah, jangan membawa kami ke dalam pencobaan….”.  

The Devil Wears Prada! (1)

The Devil Wears Prada!

Mungkin tidak banyak dari kita yang masih ingat sebuah film top box office 2006 dengan judul diatas (diangkat dari sebuah novel dengan judul sama) yang berhasil memenangi berbagai penghargaan dunia. Di film itulah kita menyaksikan bagai-mana bintang tenar Meryl Streep memainkan karakter antagonis “Miranda Priestly,” redaktur kepala majalah model Runway. Tidaklah mengherankan kalau khalayak bilang film tersebut merupakan parade merek-merek ternama di  dunia, dari ujung rambut hingga ke kaki dan dari dalam hingga luar rumah. You name it, it’s there for the asking! Sungguh suatu pameran konsumerisme yang fantastis!
Tentu kemudian kita bertanya:  “Apa hubungan konsumerisme dengan iman?.” Anak saya secara spontan menjawab: “Hubungannya baik-baik saja tuh Pa! Belanja, ya; ke gereja, ya juga!,” meski belum paham arti KONSUMERISME!.
Sama seperti “isme” lainnya yang berarti “jalan hidup,” konsumerisme berarti jalan hidup untuk berperi-laku konsumtif. Konsumtif adalah perangai yang mendahulukan sifat ingin.” Ini sangat berbeda dengan kata “konsumsi” yang mendahulukan sifat “perlu.” Belanja sembako dan pakaian harian, contohnya, sifatnya perlu, jadi dapat dikategorikan sebagai konsumsi.
Stop… stop! Kalau penalarannya seperti itu, semua orang di dunia konsumtif dong!,” sela anak saya tadi dengan nada tinggi.
Yaa, orang belum selesai bicara sudah dipotong! Saya lanjutkan dahulu penjelasannya. Kata kunci konsumerisme adalah ‘ingin’.”
Nah!” Kalau begitu, Doraemon-lah biang-keroknya!” anak saya menukas lagi, sambil bernyanyi: “Aku ingin begini, aku ingin begitu…. la, la, la….”
Ha, hi, hu… lucu deh dikau!” jawab saya (dia jelas melupakan kata kunci utama konsumerisme, yaitu jalan hidup); “Kalau mau contoh, itu kamu! Ingat nggak waktu kecil Papa beliin Tamagotchi? Nyesel deh Papa! Maunya ngajarin kamu hidup disiplin, eeeh, mainannya malahan menjadi IDOL! Nyuapin, nge-WC-in… trus lupa belajar!
OK, OK, Pa…” dengan tersipu-sipu dia menukas; “What’s the point?... tapi apa intinya?.”
Sabaar, intinya di Lukas 16:13”; demikian sabda-Nya: “Seorang hamba tidak dapat mengabdi kepada dua tuan.”
Dengan jumawa dia bilang: “Pa, itu kan film orang dewasa? Jadi… siapakah iblis yang suka pakai merek Prada? Ha, ha, ha!”
Hei… jangan lari kau anak iblis!” teriakan canda si ayah.