Thursday, May 1, 2014

Perenungan 3

Tujuh Kali Tujuh Puluh Tahun!
Tujuh kali tujuh puluh tahun
tanggal gigi-gigi tua, putih mata menjadi rabun
masa berubah era, bukan pohon berganti daun.
Waktu aku rindu,
mendamba uluran tangan-Mu,
aduh Gusti,
lama sekali aku menanti.
Saat derap bergegap,
sendiri berkutat merebut harap,
nafas kupacu, langkah seribu,
tertinggal di mana tadi Tuhanku?
Ya Allah,
aku jauh dan menjauh, sendiri menjelajah,
Engkau senantiasa ada, dekat, menebar rahmat,
bukalah sumpal telinga ini agar mendengar,
janji penebusan yang tak pernah pudar,
memohon kasih yang panjang sabar.

(Daniel 9 : 15 – 25a; II Timotius 4 : 1 - 5)

Perenungan 2

Tidak Terjadi di Simpang Lima!
Tuhan menyapa: “Selamat pagi anak-anak-Ku”
Di kantor, ya saat masuk aula,
kubergumam: “Besok aku akan berdoa lebih lama”
     Di dapur, ya daging wagyuku hangus!,
     doa tinggal kata, mulut terberangus!
Di sekolah, ya mulut lebar lepas menguap
“doa” dalam dengkur teratur, buku didekap

Allahku,
Gustiku,
Di manakah Engkau? Aku mau berdoa kepada-Mu!

Tuhan,
Biarlah apa yang akan kulakukan hari ini
datang dariMu,
jadikanlah hari ini,
perangaiku sebagai cerminan karya-Mu.
Aku rindu dengan-Mu, untuk senantiasa dekat
Aku ingin bersama-Mu, bukan karena pepat.

(Daniel 9 : 1 - 14; I Yohanes 1 : 3 - 10)

Perenungan 1 - Rabu Abu

Semuanya Dari-Mu


Ya Allah, inilah saatnya kita memasuki masa itu,
     Engkau dan aku.
Memasuki lorong pekat untuk mengingat,
     Dalam suntukku kudamba asa selamat.
Aku merasakan kepastian bahwa ini yang kunanti,
     Itu jugakah yang pada hamba-Mu ini Tuhan cari?.
Dalam derap dan gegap penuh asap
Dari pagi hingga malam menguap
Kucari, kukumpul, satu … dua suap
Luap berkat, itu bukan dari keringat!
Aduh Gusti, mengapa aku jadi lupa mengingat?
Rabu Abu, tanda dukaku,
Ampun Tuhan, tunjukkan jalanku.
Ya Allah, ya Tuhanku,
Aku mulai ingat lagi masa laluku!

Aku mau, Tuhan,
Tarakku, mencelikkan mata pada karya penebusan
Doaku, membuka hati pada kawan
Dermaku, menjadi persembahan hidup untuk Tuhan.

Debu telah kembali ke tanah,
Ya Allah, aku pasrah.

(Yoel 2 :1 - 2, 12 - 17; Mazmur 51 : 1 - 17;
2 Korintus 5 : 20b - 6:10; Matius 6 : 1 - 6; 16 - 21)

Hal-hal Yang Patut Dilakukan


MPP (Masa Pra Paskah) merupakan masa yang memberikan kesempatan kepada kita untuk melakukan refleksi hidup untuk pembersihan dan pengubahan hati sehingga kita bisa hidup seturut kehendak Allah.
Tidak ada “hukum,” selain “Hukum Kasih,” yang harus kita ikuti dan banyak hal yang dapat kita lakukan sebagai persiapan pribadi.
Beberapa hal di bawah ini dapat menjadi pedoman kita melakukan refleksi diri selama MPP.
Apakah Saya Sudah Siap,
Atau Sudah Melakukan?
  • Berbagi dengan orang lain, apalagi dengan mereka yang memerlukan?
  • Sifat sabar dan kasih kepada orang lain, terutama mereka yang menjengkelkan dan menyakiti hati?
  • Menyuarakan dan membantu orang-orang yang ditekan dan ditindas? (Atau diam saja dan bahkan bersembunyi untuk keselamatan diri?)
  • Berempati dan berjiwa pengampun seperti orang lain? (Atau justru menjadi sumber kekecewaan bagi orang-orang lain?)
  • Membuang masalah/dendam pribadi yang senantiasa menghantui hingga saat ini?


Seperti yang telah dikenal berabad-abad yang silam hingga masa kini, ada pokok-pokok petunjuk untuk melaksanakan MPP yang dikenal dengan “Tri Pilar,” yaitu:
1.    Berdoa,
2.    Berpuasa,
3.    Berderma.


BERDOA merupakan pernyataan atas kehadiran Allah di dalam hidup kita, karena ini adalah satu hak istimewa yang telah diberikan-Nya kepada kita untuk berkomunikasi dengan Allah. Ia  merupakan salah satu sarana kita untuk bersekutu dengan Allah dan membuat kita lebih dekat kepada Allah dan mengerti kehendak-Nya. Oleh karenanya, berdoa merupakan nafas hidup orang Kristen; tidak berdoa sama dengan mati rohani.
Berdoa merupakan salah satu cara kita menyampaikan semua keluh kesah dan keinginan serta ucapan syukur kepada Allah yang dapat memberikan kekuatan saat kelemahan menimpa kita.
Sebuah Kesaksian Tentang Berdoa.
Saya masih ingat pada saat saya mula-mula mencoba untuk dapat berdoa setiap hari, paling tidak saat menjelang tidur. Saya memang mengawalinya dengan niat yang sungguh; namun di dalam proses berdoa, ingatan saya buyar dan pikiran saya pergi ke mana-mana sampai akhirnya saya tertidur!
Pada kesempatan lainnya, saya bisa menyelesaikan doa dengan penuh. Namun hal itu saya rasakan seperti mengayuh sepeda tanpa rantai; doa-doa yang saya panjatkan itu rasanya nggak nyambung dengan apa yang saya lakukan setiap hari.
Saya tidak putus asa atas ketidakmampuan saya berdoa. Saya banyak membaca untuk mencari jawaban tentang perlunya, indahnya dan nilainya berdoa. Saya sadar dan diyakinkan kemutlakan perlunya berdoa, tanpa melihat apakah doa orang lain lebih baik dari doa saya; berdoa adalah saat saya berbicara dengan Allah.

Jadi, janganlah menunda untuk berdoa sampai kita merasa bahwa cara berdoa kita lebih baik dari orang lain. Mulailah sekarang!


BERPUASA secara umum diartikan sebagai tindakan tidak makan dan/atau minum. Beratkah bagi kita untuk berpuasa? Tentu saja jawabannya akan bersifat relatif! Relatif, baik terhadap kebiasaan maupun kebisaan (kemauan).
Biasakah atau bisakah kita berpuasa?
Baik, kita mulai dahulu dengan pertanyaan yang lebih ringan. Pernahkah kita lapar dan haus? Pernahkah kita kelaparan dan kehausan? Sebagian besar dari kita, atas dasar berbagai sebab dan alasan, mampu memberikan jawaban: “Ya, pernah!.” Bagaimana rasanya lapar dan haus? Samakah itu dengan kelaparan dan kehausan? Marilah kita bertanya kepada diri kita sendiri.
Inti persoalannya di sini adalah soal “empati,” soal bagaimana kita melihat orang lain “mempunyai masalah” dan soal apakah kita memiliki “kepekaan batin” untuk melihat dan mencoba membantu orang lain yang mempunyai masalah itu.
Di sinilah, di MPP ini, kita diberi waktu khusus oleh Allah untuk berlatih meningkatkan kepekaan indra batin kita, agar kita mampu melihat permasalahan di dalam diri kita maupun diri orang lain. Tuhan yesus juga menjalani puasa, bahkan empat puluh hari dan empat puluh malam, sebelum memulai tugas-Nya di bumi untuk menjadi Juru Selamat kita. (Matius 4 : 2).
alah bisa, karena biasa” adalah satu pepatah yang kita hafal waktu kita belajar di sekolah dasar. Sesuatu hal terasa berat karena kita tidak biasa melakukannya! Tahukah saudara istilah “puasa burung kepodang”? Itu adalah latihan berpuasa bagi anak-anak; “pagi puasa, siangnya makan pakai sambal bawang!.”
Mulailah dari yang ringan hingga yang paling berat, sehingga kita bisa mempraktikkan pepatah di atas. Menekan keinginan untuk menikmati makanan favorit, tidak makan di restoran, puasa kudapan dan masih banyak hal lainnya yang dapat kita lakukan.
Tidak kuat, tidak mampu, tidak mau berpuasa secara fisik (tidak makan dan tidak minum)? Kita bisa mencoba menjalani “puasa alternatif,” antara lain sebagai tersebut di bawah ini:
  • Pengendalian diri untuk tidak bertemperamen tinggi (sikap marah) dan tidak membenci.
  • Perendahan diri dan berupaya untuk tidak bersikap menghakimi orang lain.
  • Pengendapan diri untuk melawan kekhawatiran.
  • Menjauhkan diri dari mengomel dan berkeluh-kesah.
  • Membuang rasa cemburu, iri hati dan dengki.
  • Mencadangkan waktu khusus untuk secara rutin melakukan doa baik pribadi maupun bersama dengan keluarga.
  • Melakukan penghematan tertentu dalam belanja.


Di dalam berpuasa, ada satu prinsip yang harus kita ingat dan pegang bahwa puasa bukanlah sarana untuk memperoleh “hadiah” dari Allah, namun itu merupakan cara kita untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah dengan mempraktikkan Hukum Kasih.
  
BERDERMA adalah memberikan sesuatu atas dasar kemurahan hati. Tindakan ini adalah salah satu manifestasi kesadaran pribadi kita atas cinta dan kasih Allah kepada kita.
Derma tidak harus berarti pemberian dalam bentuk uang atau sejenisnya. Mendermakan diri kita sebagai persembahan hidup untuk menjadi pelayan Allah di bumi adalah sesuatu yang menyenangkan hati Allah (Roma 12:1).
Derma dalam bentuk lain? Marilah kita siapkan hati dan niat kita untuk menjadi tenaga sukarela! Kita mulai dahulu dari dalam lingkungan kita. Di bagian mana saudara berada di dalam urutan di bawah ini, tidak menjadi masalah karena “Tubuh kita mempunyai banyak anggota. Setiap anggota ada tugasnya sendiri-sendiri. (Roma 12:4 – 8).
  • Saya bisa menyanyi, saya ingin menjadi anggota pasuan suara, saya ingin menjadi pemandu pujian;
  • Saya bekerja di multi media, saya bisa membantu bidang multi media gereja;
  • Saya bisa menjadi penerima tamu (usher);
  • Saya tidak bisa apa-apa, tetapi bisa menyediakan waktu setiap Minggu, panggillah saya; dan masih banyak lagi yang dapat kita persembahkan dengan mulai mengatakan: "Saya bisa ........."

Masa Prapaskah – Apa itu?


Asal Kata.
Istilah “Prapaskah” merupakan hasil penerjemahan secara bebas atas kata “Lent”.
Kata Lent berasal dari kosa kata Bahasa Jerman pra historis: “langgitínaz”, yang dibentuk dari penggabungan dua kata: “lanngaz” yang berarti “panjang” dan elemen imbuhan “tina” yang berarti “hari”. Sehingga kata itu membentuk pengertian harfiah “hari yang panjang” dan diasosiasikan dengan Musim Semi, yang mem-punyai waktu siang lebih panjang dari Musim Dingin.
Kata itu kemudian menjadi kata ambilan di dalam Bahasa Inggris Kuno dan bertransformasi menjadi kata: “lencten”, yang kemudian berubah menjadilengten” dan kemudian “Lenten” dalam Bahasa Inggris Abad Tengah. Pada akhir Abad Tengah, kata Lenten bertransformasi menjadi kata benda “Lent” (yang tetap dipergunakan hingga sekarang dan kata Lenten berubah menjadi bentuk kata sifat). Pengertiannya juga mengalami perubahan, yaitu dari pengertian sekular “Musim Semi” menjadi pengertian rohani sebagai “Masa Prapaskah.”
Kata Lent ini kemudian juga menjadi kata ambilan bahasa lain, a.l.: Lente (Belanda), Lenz (Jerman); dalam Bahasa Latin disebut: “Quadragesima,” yang berarti 40 hari (rentang waktu Masa Prapaskah).

Pengertian & Istilah.
JIWA. Jiwa dari Masa Prapaskah (MPP) berakar dari arti harfiah Lent yaitu Musim Semi. Hadirnya Musim Semi berarti berakhirnya Musim Dingin, di mana pepohonan yang daun-daunnya gugur sebelum Musim Dingin, sekarang mulai bersemi kembali.
Jadi MPP adalah Musim Semi rohani kita yang menjadi titik tolak perubahan, pembaruan dan pertumbuhan sikap hidup rohani kekristenan kita.

KAPAN?. MPP selalu dimulai pada hari Rabu yang disebut sebagai Rabu Abu dan terentang selama 40 hari sampai puncaknya yaitu Minggu Suci (Holy Week) yang meliputi Minggu Palmarum, Kamis Putih, Jumat Agung dan Sabtu Sunyi.
Hitungan masa 40 hari ini tidak termasuk hari-hari Minggu yang menjadi simbol hari kemenangan bagi umat Kristen karena kebangkitan Tuhan Yesus. Hari-hari Minggu, oleh karenanya, sering diidentikkan dengan “Paskah kecil.” Untuk tahun 2012, MPP terentang mulai hari Rabu, 22 Februari (Rabu Abu) hingga hari Sabtu, 7 April (Sabtu Sunyi). Guna menciptakan eskalasi rohani, maka minggu-minggu selama masa itu ditandai mulai dari MPP I hingga MPP VI dengan diberi tema-tema kecil, mulai dari awal pemuridan Tuhan Yesus (Markus 1 : 9 - 15) sampai saat Tuhan Yesus masuk kota Yerusalem (Markus 11 : 1 -11).

40?. Mengapa 40? Mengapa MPP berlangsung 40 hari?
Setiap bangsa, komunitas bahkan individu menyukai angka tertentu dengan alasan tertentu juga, tanpa harus berbau mistis; misalnya, orang Jawa memberi nama anak keduanya dengan awalan Dwi (artinya: dua, kedua). Demikian juga Bangsa Israel menganggap angka 40 itu istimewa!
Sebagaimana yang terjadi di daerah Timur Tengah (a.l. bangsa-bangsa yang menggunakan karakter Arab untuk menulis), karakter tulisan yang dipergunakan oleh Bangsa Israel, yaitu Ibrani, selain berfungsi sebagai lafal huruf atau kata juga berfungsi sebagai penunjuk bilangan (angka). Huruf Ibrani מ adalah huruf M (lafal mem, mim) dan juga angka 40. Huruf M ini yang membentuk kata “mayim” yang berarti air (sebagai sumber hidup). Itulah salah satu alasan mengapa angka 40 istimewa.
Dari sumber Alkitab juga banyak kita peroleh cerita tentang angka 40 tersebut. Hujan 40 hari 40 malam yang menyebabkan banjir merendam bumi (Kejadian 7 : 4), orang Israel makan manna empat puluh tahun lamanya (Keluaran 16 : 35), Tuhan Yesus berpuasa 40 hari dan 40 malam sebelum memulai pekerjaan-Nya di dunia (Matius 4 : 2) dan masih banyak lagi!

RABU ABU. MPP selalu dimulai pada hari Rabu yang disebut sebagai Rabu Abu. Sebutan ini muncul dan berasal dari kebiasaan menabur abu ke kepala atau duduk di abu sebagai tanda perkabungan, kesedihan, rasa hina serta penyesalan dan pertobatan atas dosa di hadapan Allah (lihat 2 Samuel 13:19; Nehemia 9:1; Ester 4:1; Ayub 2:8 & 42:6; Yunus 3:5-6; Yeremia 6:26; Daniel 9:3).
Pada gereja mula-mula, penandaan abu di dahi hanya diberikan bagi mereka yang telah membuat pengakuan dosa di depan umat. Melalui perjalanan waktu, orang-orang mulai meminta penandaan abu di dahi ini sebagai tanda kalau mereka juga tidak malu mengakui diri mereka sebagai “pendosa.” Dalam perkembangannya hingga kini, penandaan abu di dahi ini kemudian diberikan kepada seluruh umat.
Dari kebiasaan di ataslah kemudian abu menjadi simbol kesadaran manusia dan pertobatan atas dosa yang membawa maut.
Rabu Abu merupakan refleksi hari kesedihan, penyesalan dan pertobatan kita, agar kita lebih mampu untuk menghayati apa yang perlu kita ubah di dalam kehidupan kita, kalau kita ingin menjadi orang Kristen sejati, sebagaimana termuat di dalam Doa Bapa kami: “dan ampunilah kami akan dosa kami, sebab kamipun mengampuni setiap orang yang bersalah kepada kami;” (Lukas 11:4).

Telaah Kesejarahan.
Dokumen paling kuno yang dapat dijadikan rujukan penyelenggaraan MPP adalah tulisan di abad ke dua dari salah satu bapak gereja mula-mula, yaitu Irenaus, Uskup di Lugdunum, Gaul (sekarang Lyon, perancis). Beliau mencatat adanya praktik berpuasa satu hingga tiga hari sebelum Paskah yang dilakukan oleh banyak umat.
Praktik berpuasa ini menurut perkiraan sudah lama dilakukan oleh umat dan sangat mungkin hal ini bahkan telah dilakukan sejak abad kesatu. Informasi ini dikuatkan oleh dokumen yang ditulis oleh Tertullian (Quintus Septimius Florens Tertullianus) yang dikenal sebagai “Bapak Teologi Barat” dan penganjur konsep “Trinitas.”
Dokumen pertama yang secara tegas memuat anjuran untuk berpuasa 40 hari sebelum Paskah ditulis tahun 311 oleh Athanasius, Uskup Alexandria, dalam bentuk surat penggembalaan kepada umatnya. Pada tahun 339, Athanasius menulis surat penggembalaan kepada umatnya di Alexandria dengan bahasa yang lebih keras:

Puasa 40 hari, yang telah dipraktikkan di seluruh dunia, hendaknya bisa menjadi kebiasaan yang dilaksanakan sampai akhir; sehingga ketika orang di seluruh dunia sedang melaksanakan puasa itu, janganlah kita orang Mesir menjadi bahan ejekan sebagai orang yang hidup dalam kenikmatan pada masa itu.

Bilur - Bilur Yang Menjadi PILAR - PILAR




Manakala kita selesai membaca cerita di atas dan melihat diri kita sendiri, dalam berbagai hal kita serupa dengan “Si Anak Bengal” yang hilang itu!
Sering kali kita menganggap berkat Allah itu sebagai hak kita yang memang “harus” diberikan oleh Allah; sesekali kita juga minggat dari rumah Bapa, atau tetap tinggal di rumah tapi mengabaikan keberadaan Bapa! Itulah sisi nyata dari dosa.
Kita semualah para pendosa bengal itu.
Cerita Alkitab di atas mengilhami kontemplasi ini sebagai pengenalan dan pemenuhan pemahaman kita tentang Paskah. Paskah bukanlah hanya merupakan kejadian pada satu titik waktu saja, namun – lebih dari itu – merupakan suatu proses panjang selama 40 hari ke belakang, yang dimulai dari satu hari yang kita sebut sebagai Rabu Abu.
Masa Paskah selama ini belum banyak dipahami dan dipraktikkan, terutama tentang konsep Tri Pilar Paskah, yaitu Berdoa, Berpuasa & Berderma.
Ketidaksempurnaan adalah sifat dasar manusia. Demikian juga saya dalam berkontemplasi tentu sangat jauh dari sempurna.

Mari, kita pulang ke rumah Bapa! Allah telah berpesan bahwa “dosa” tidaklah perlu menjadi “kata terakhir” di dalam kehidupan kita.

L'Shalom,

BD.-

Sunday, August 11, 2013

Jaman Dulu, Bukan Jaman Sekarang!??


Tempo Doeloe
Hanya mencoba membangkitkan lagi ingatan saya tentang apa yang saya pernah baca di dalam buku Sejarah Indonesia dan cerita dari kakek tentang bagaimana Bangsa Indonesia berjuang merebut kemerdekaannya.

Terima kasih nenek-moyangku, para PAHALAWANku yang telah berjuang, menyerahkan nyawa mereka TANPA PAMRIH!

Masih ingat bagaimana kakek menceritakan kegigihan para pejuang kemerdekaan melawan penjajah dengan bersemboyan:

Sak dumuk bathuk,
Sak nyari bumi,
Tak bela Ibu Pertiwi!

Masih ingat bagaimana kakek menceritakan susahnya "long March sambil mengungsi."

Tempo Kini - 2013
Googling cari gambar untuk ilustrasi tentang "Indonesia Yang Kaya Raya & Makmur" ternyata sungguh-sungguh susah. Dapat gambar sawah dengan bulir-bulir padi yang gemuk menguning, tapi batal di ambil........beras masih impor......gambar yang lain? Bawang merah....bawang putih.....cabe? Juga masih impor!

Sementara itu berita TV mengabarkan kalau ada orang-orang ternama yang menjadi bergelimang uang dari impor daging.......dan uangnya untuk belanja "DAGING."

Nenek-moyang hanya bisa "ngelus dhadha, kebak ing panalangsa"

       bumi pertiwi terbelah,
              darah tertumpah membasah,
                             untuk kebebasan tanah,
                                           sumpah serapah untuk yang serakah!


Semoga ini menjadi pengingat kita semua menjelang 17 Agustus 2013.

Dirgahayu Repoeblik Indonesia tercinta.-